Menuju Pemahaman 26%

Sumber : Febdian.net

Pada bulan Oktober 2006 tahun yang lalu, proyek COBE (Cosmic Background Explorer) memenangkan hadiah Nobel atas hasil pengamatan mereka terhadap ketidakisotropisan (anisotropis) radiasi latar kosmik gelombang radio (cosmic microwave background, CMB). Ketidakisotropisan ini bisa dilihat dari temperaturnya yang tidak sama di setiap titik pengamatan, adanya fluktuasi. Fakta ini berbeda dengan penemuan CMB pertama kali tahun 1964 yang melihat bahwa CMB isotropis, ke manapun mata memandang akan mendapatkan CMB dalam jumlah yang sama dan temperatur yang sama.

Fakta ini sungguh berdampak besar dalam dunia kosmologi. Teori Dentuman besar menyaratkan ketidakisotropisan CMB untuk bisa menjelaskan terbentuknya galaksi-galaksi dan formasi-formasi galaksi (kluster). Namun selain itu, ketidakisotropisan CMB juga mengantarkan kita kepada satu kemungkinan yang mungkin tidak menggembirakan: bahwa komposisi Alam Semesta kita terdiri dari 74% dark energi, 22% dark matter, dan cuma 4% saja materi yang kita kenal – dengan kata lain, sains kita hanya mengkaji 4% dari Alam Semesta dan itu pun belum sempurna.

Dua pekan yang lalu, tepatnya 15 Mei 2007, tim kolaborasi astronomi internasional yang bermarkas di Universitas John Hopkins America Serikat mengklaim telah menemukan dan memetakan keberadaan dark matter. Ini jelas sebuah klaim yang tidak main-main karena berdampak besar dalam pemahaman kita terhadap Alam Semesta.

Apa itu dark matter?

Disebut dark matter karena bongkahan materi ini tidak berinteraksi di bawah pengaruh elektromagnetik. Sementara, semua teknologi detektor kita bekerja berdasarkan interaksi elektromagnetik.

Materi yang biasa kita kenal tersusun oleh atom-atom yang terdaftar dalam Tabel Periodik. Salah satu sifat fisisnya adalah atom-atom ini berinteraksi dengan cahaya, sehingga kita bisa mendeteksi keberadaan mereka. Interaksi cahaya dengan atom ini disebut interaksi elektromagnetik. Berdasarkan inilah orang menghitung massa benda-benda langit termasuk galaksi.

Pada tahun 1930-an, seorang astronom Swiss, Fritz Zwicky, mengamati sebuah kluster (kumpulan galaksi) dan menghitung radius dan sebaran massa kluster itu. Kemudian, dengan memakai persamaan gerak Newton, Zwicky dapat menghitung kecepatan angular dari lapisan terluar kluster tersebut. Ternyata perhitungannya yang berdasarkan radius dan sebaran massa galaksi tidak cocok dengan pengamatannya: kecepatan angular dari lapisan terluar kluster tersebut teramati lebih cepat daripada hitungannya. Pengamatan terpisah oleh astronom Belanda Jan Oort mendukung hasil pengamatan Zwicky.

Solusi saat itu adalah bahwa ada massa yang tidak terhitung karena tidak terdeteksi oleh pengamatan mereka. Sumber massa inilah yang kemudian disebut dark matter.

Dark matter dan teori Dentuman Besar

Keberadaan dark matter, secara tidak langsung, dibutuhkan oleh teori Dentuman besar untuk menjelaskan proses formasi galaksi dan kluster. Pembentukan galaksi dari bintang-bintang dan benda angkasa lainnya di Alam Semesta membutuhkan gaya gravitasi yang besar. Galaksi-galaksi kemudian membentuk struktur raksasa tertentu, beberapa di antaranya terkumpul pada satu lokasi yang disebut kluster.

Struktur Alam Semesta berdasarkan teori Dentuman besar sudah banyak dimodelkan. Sejauh ini para ilmuwan menyimpulkan bahwa untuk mendapatkan struktur Alam Semesta seperti yang kita miliki sekarang, maka Alam Semesta butuh massa benda-benda angkasa yang jauh lebih besar daripada massa yang terhitung saat ini. Karena massa ini dibutuhkan untuk menghasilkan gaya gravitasi yang sanggup membuat struktur Alam Semesta sebagaimana mestinya. Dark matter, kalau memang ada, maka akan menyumbangkan massa yang dibutuhkan itu.

Model baku partikel elementer (standard model, mainstream-nya fisika kita saat ini) memberikan prediksi bahwa dark matter mungkin ada dua jenis: barionik dan non-barionik. Jika dark matter itu berjenis barionik, maka partikel penyusun dark matter adalah sama dengan penyusun inti atom, tapi tentu dengan kombinasi tertentu sehingga memiliki sifat fisis berbeda dengan inti atom yang kita kenal.

Jenis non-barionik dibagi atas dua kelas: hot dark matter dan cold dark matter. Disebut “hot” karena partikel penyusunnya sangat ringan dan bergerak dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya (relativistik). Sebaliknya, “cold” lebih massif sehingga “cocok” dengan apa yang dibutuhkan oleh teori Dentuman besar. Hot dark matter kemungkinan disusun oleh partikel neutrino; sementara cold dark matter kemungkinan disusun oleh neutralino, pasangan supersimetri dari neutrino. Di samping prediksi model baku, tentu ada lagi kandidat lain dari prediksi model lainnya.

Cincin dark matter

Karena tidak mungkin teramati langsung oleh teknologi kita saat ini, maka orang mencari dark matter dari konsekuensi fisis dari sifat dark matter. Salah satunya adalah lensa gravitasi. (Lihat Gambar 1)

medan gravitasi Gambar 1: Lensa gravitasi, pembelokkan cahaya di sekitar sebuah benda massif. Sumber cahaya terletak sangat jauh dari Bumi. Panah berwarna oranye adalah posisi sumber cahaya yang terlihat dari Bumi, sementara panah putih adalah lintasan sesungguhnya dari cahaya yang sampai ke Bumi. Mata kita kemudian akan melihat seperti cincin di sekitar benda massif tersebut. Fenomena lensa gravitasi adalah salah satu prediksi spektakuler dari teori Relativitas Umum. (Gambar diambil dari situs Wikipedia.org).

Gaya gravitasi seperti yang kita ketahui, berasal dari benda yang memiliki massa. Gaya ini selalu positif, artinya menarik benda-benda lain di sekitarnya, termasuk cahaya. Semakin massif dia, semakin besar gaya gravitasi yang dihasilkan, dan semakin besar juga cahaya tertarik olehnya. Ketika melintasi benda massif ini, cahaya akan terbelokkan sehingga lintasannya menjadi “bengkok”. Inilah yang disebut lensa gravitasi. Kita yang mengamati cahaya yang terbelokkan ini akan melihat semacam cincin cahaya di seputar benda massif yang membelokkan cahaya tersebut.

Karena cold dark matter sangat massif, maka lensa gravitasi akan terjadi di sekitarnya. Inilah yang diamati oleh tim kolaborasi tersebut (lihat Gambar 2). Mereka menemukan sebuah cincin dengan indikasi kuat, berdasarkan model dan perhitungan mereka, adalah berasal dari lensa gravitasi sebuah cold dark matter.

ring dark matter Gambar 2. Cincin dark matter yang direkam oleh tim internasional Univeristas John Hopkins. Gambar-gambar pada panel atas (A1, sampai A5) adalah gambar yang ditangkap oleh lensa teleskop dari lima sumber berbeda. Sedangkan pada panel bawah menampilkan cincin lensa gravitasi berdasarkan prediksi dari model untuk sumber terkait.

Dark matter dan pemahaman Alam Semesta

Kalaulah benar apa yang ditemukan tim di Universitas John Hopkins itu adalah dark matter, maka dampak pertama yang mungkin sangat signifikan adalah semakin kuatnya teori Dentuman besar sebagai model Alam Semesta kita. Sebelum ini adalah penemuan CMB sebagai relik prasejarah Alam Semesta saat berumur 300.000 tahun.

Jika sudah terpetakan, maka selanjutnya adalah penyelidikan materi penyusun dark matter. Inilah yang ditunggu-tunggu banyak orang, akankah 22% misteri alam semesta akan segera terkuak? Apakah teknologi yang bisa diturunkan dari dark matter ini? Wallahualam.

Post a Comment

Previous Post Next Post